Secara yuridis, kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), yang tercantum dalam pasal 6, 7, 8, dan pasal 9 yaitu:
1. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).
2. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).
3. Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Selain itu juga berarti pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).
4. Penelantaran rumah tangga juga dimasukkan pengertian dalam rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan penghidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Pelantaran tersebut juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban dibawah kendali orang tersebut (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).
Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Di Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun 2004. Misi dari Undang-undang ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi penghapusan KDRT, yang bertujuan sebagaimana yang dimaksud pada pasal 4 UU PKDRT Tahun 2004:
1. Mencegah segalah bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
3. Menindak prilaku kekerasan dalam rumah tangga,
4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtra
UU PKDRT yang saat ini telah menjadi payung hukum bagi korban kekerasan, merupakan terbosan hukum yang positif dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana persoalan pribadi telah masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum UU PKDRT ada, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana Indonesia tidak mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri atau orang tua terhadap anak diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti.
Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara melalui butir UU PKDRT, berupaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban akibat KDRT. Sesuatu hal yang sebelumnya sangat sulit untuk diungkap, karena dianggap sebagai persoalan internal keluarga seseorang. Pasalnya, secara tegas dikatakan bahwa, tindakan keekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga (penelantaran ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana. Tindakan-tindakan tersebut mungkin biasa dan bisa terjadi antara pihak suami kepada isteri dan sebaliknya, atapun orang tua terhadap anaknya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ketentuan ini adalah sebuah terobosan hukum yang sangat penting bagi upaya penegakan HAM, khusunya perlindungan terhadap mereka yang selama ini dirugikan dalam sebuah tatanan keluarga atau rumah tangga.
Kebijakan ini merupakan bagian dari penghapusan deskriminasi terhadap perempuan, yang terwujud dalam Convention on the Elimination of All Forms of Descrimination Againts Woman (CEDAW), dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Konvensi ini memuat hak dan kewajiban berdasarkan atas persamaan dan menyatakan agar Negara mengambil langkah-langkah seperlunya untuk pelaksanaannya.
Dalam Konvensi ini istilah ”diskriminasi terhadap perempuan” berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya bagi kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar persamaan hak laki-laki dan perempuan. Unsur-unsur yang terkandung dalam istilah ”diskriminasi” tersebut meliputi:
1. Ideologi, berupa asumsi-asumsi berbasis gender tentang peran dan kemampuan perempuan;
- Tindakan, pembedaan perlakuan, pembatasan atau pengucilan perempuan;
- Niat, diskriminasi langsung atau tidak langsung;
- Akibat;
- Pengurangan atau penghapusan pengakuan, penikmatan, penggunaan hak dan kebebasan.
- Diskriminasi dalam semua bidang (politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil,) dan oleh setiap pelaku.
Selain itu, kebijakan UDHR yang dikeluarkan PBB juga menguatkan permasalahan ini. International Bill of Right dan The Universal Declaration of Human Rights (UHDR), yang diputuskan dalam sidang PBB tahun 1948, serta kedua konvenen hak-hak sipil dan politik, serta hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Deklarasi dan perjanjian ini merupakan konsesus umat manusia tentang HAM yang harus dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara-negara anggota PBB maupun yang menandatanganinya.
Oleh karena itu, dalam perspektif HAM, kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran Hak Azazi Manusia dan merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi, karena melukai korban secara fisik dan psikologis. Untuk menyikapi permasalahan di atas, dibutuhkan advokasi hukum secara komperhensif yang nantinya bisa menjamin terlindunginya hak-hak dari korban KDRT, yang bertujuan untuk “penghapusan kekerasan dalam rumah tangga”, serta upaya “perlindungan dan penegakan HAM”. Karena HAM pada hakikatnya merupakan hak-hak fundamental yang melekat pada kodrat manusia sendiri, yaitu hak-hak yang paling dasar dari aspek-aspek kodrat manusia sebagai manusia. Setiap manusia adalah ciptaan yang luhur dari Tuhan Yang Maha Esa. Setiap manusia harus dapat mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga ia harus berkembang secara leluasa. Dalam hukum nasional, dinyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar