Metode yang digunakan untuk mengetahui masuknya bulan
Ramadhan adalah dengan metode ru'yah (melihat bulan) atau dengan metode hisab
(menghitung). Uraiannya sebagai berikut;
a. Ru’yah adalah suatu cara untuk menetapkan awai bulan Qamariyah (Ramadhan), dengan jalan melihat dengan panca indra mata, timbulnya/munculnya bulan tsabit.Bila cuaca mendung/buruk, sehingga bulan tidak dapat dilihat, maka hendaklah menggunakan istikmal (menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari).
b. Hisab adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan Qamariyah (Ramadhan), dengan jalan menggunakan perhitungan secara ilmu astronomi, sehingga dapat ditentukan cara eksak, letak bulan. Dengan demikian, diketahui pula awal bulan Qamariyah tersebut.
Kedua jenis sistem tersebut (ru’yah dan hisab) dapat dipakai untuk menentukan awal bulan Ramadhan, maupun bulan Syawal (Idul Fitri), sebagaimana yang dikatakan Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddiqi,
a. Ru’yah adalah suatu cara untuk menetapkan awai bulan Qamariyah (Ramadhan), dengan jalan melihat dengan panca indra mata, timbulnya/munculnya bulan tsabit.Bila cuaca mendung/buruk, sehingga bulan tidak dapat dilihat, maka hendaklah menggunakan istikmal (menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari).
b. Hisab adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan Qamariyah (Ramadhan), dengan jalan menggunakan perhitungan secara ilmu astronomi, sehingga dapat ditentukan cara eksak, letak bulan. Dengan demikian, diketahui pula awal bulan Qamariyah tersebut.
Kedua jenis sistem tersebut (ru’yah dan hisab) dapat dipakai untuk menentukan awal bulan Ramadhan, maupun bulan Syawal (Idul Fitri), sebagaimana yang dikatakan Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddiqi,
”Menentukan awal dan akhir puasa boleh mempergunakan salah
satu dari metode tersebut. Baik sistem Hisab, ataupun sistem Ru’yah. Bukanlah
kedua-duanya mempunyai alasan yang kuat menurut mereka masing-masing, dan
sama-sama bersumber dari Alquran dan hadits."
Menurut Ibnul Mubarak, Syafi’i dan Ahmad, penyaksian seorang laki-laki yang adil terhadap awal bulan Ramadhan, dapat diterima. Pendapat inilah yang paling sahih menurut An Nawawi. Adapun permulaan bulan Syawal, ditetapkan dengan menyempurnakan bulan Ramadhan 30 hari, dan para Fuqaha tidak menerima penyaksian seorang laki-laki adil.
Mereka mensyaratkan penyaksian ru’yah itu, dua orang yang adil kecuali Abu Tsur. Ia tidak membedakan penyaksian antara awal bulan Syawal dengan awai bulan Ramadhan, penyaksian seorang yang adil dapat diterima atas keduanya.
Menurut Ibnul Mubarak, Syafi’i dan Ahmad, penyaksian seorang laki-laki yang adil terhadap awal bulan Ramadhan, dapat diterima. Pendapat inilah yang paling sahih menurut An Nawawi. Adapun permulaan bulan Syawal, ditetapkan dengan menyempurnakan bulan Ramadhan 30 hari, dan para Fuqaha tidak menerima penyaksian seorang laki-laki adil.
Mereka mensyaratkan penyaksian ru’yah itu, dua orang yang adil kecuali Abu Tsur. Ia tidak membedakan penyaksian antara awal bulan Syawal dengan awai bulan Ramadhan, penyaksian seorang yang adil dapat diterima atas keduanya.
Perbedaan penetapan awal bulan kamariah sesungguhnya
disebabkan karena berbedanya dasar yang digunakan. Diantaranya ada golongan
yang berpegang teguh kepada rukyat sebagai dasar penetapan. Ada pula golongan
yang mendasarkan penetapannya pada saat terjadi ijtimak matahari dan bulan. Ada
lagi golongan yang mendasarkan pada hisab wujudul hilal. Ada pula golongan yang
menetapkan awal bulan kamariah dengan dasar kaidah-kaidah tertentu yang dikenal
dengan hisab urfi.
Dari perbedaan metodologi tersebut, pada akhirnya
berimplikasi pada perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah. Berikut ini
kami akan menyampaikan penentuan awal bulan kamariah perspektif Muhammadiyah.
Penentuan Awal Bulan Kamariah Perspektif Muhammadiyah
Dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan ragam cara
penetapan awal bulan kamariah:
Rukyatul hilal.
Persaksian rukyatul hilal dari seorang yang adil.
Menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.
Dengan perhitungan hisab.
Rukyatul hilal digunakan apabila posisi hilal memiliki
kemungkinan untuk di observasi. Hingga kini, kemungkinan (visibilitas) hilal
dapat di observasi belum didefinisikan secara pasti. Danjon misalnya, setelah
melakukan penelitian berulang-ulang tentang hilal, menyatakan bahwa bulan sabit
yang posisinya mendekati matahari tidak dapat terlihat apabila jarak sudutnya
kurang dari 8 derajat. Ketentuan ini rupanya oleh Diezer diperkuat dengan hasil
penelitiannya di Candilly Obeservatory, bahwa sebagai syarat agar hilal
dapat teramati pada saat matahari terbenam harus mempunyai jarak sudut 8
derajat, dan bulan pada saat itu minimal berada pada ketinggian 5 derajat.
Tatkala matahari terbenam, hilal berada pada jarak sudut 8
derajat dengan matahari dan memiliki ketinggian 5 derajat, lantas ada berita
bahwa seseorang telah melihat hilal, atau ada orang yang adil yang menyaksikan
kebenarannya, maka kaum muslimin akan menerima hasil rukyat itu termasuk
Muhammadiyah. Itulah sebabnya dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan:
[الصَّوْمُ وَالفِطْرُ بِالرُّؤْيَةِ]
Berpuasa dan beridul fitri dengan rukyat
Keputusan itu hendaknya ditafsirkan pada saat kondisi hilal
berada pada batas imkanur rukyat, sehingga hilal dapat dilihat. Dalam kondisi
serupa ini, Muhammadiyah akan memulai puasanya dengan rukyat. Kemudian apabila
hilal tidak mungkin dilihat karena posisinya di bawah ufuk, Muhammadiyah
menerima istikmal sebagai jalan keluar dalam menghadapi kesulitan
dalam penetapan hukum. Akan tetapi, bila hilal tidak mungkin dilihat karena
tertutup awan, atau posisinya tidak berada pada imkanur rukyat, maka jalan yang
ditempuh adalah menggunakan hisab. Itulah sebabnya dalam HPT disebutkan:
[وَ لاَ مَانِعَ بِالحِسَابِ]
Dan tidak ada halangan dengan (menggunakan) hisab
Jika ada pertanyaan, mengapa Muhammadiyah menggunakan hisab
astronomi? Jawabannya adalah karena Muhammadiyah menganggap melihat hilal bukan
suatu ibadah (ta’abbudî), namun hanya sarana(wasîlah) yang dapat
digunakan dengan mudah untuk mengetahui awal bulan kamariah. Muhammadiyah
mendefinisikan hisab sebagai perhitungan astronomis tentang posisi hilal.
Namun, hisab tidak mungkin membuat keputusan tanpa adanya kriteria yang disebut
hilal. Tidak ditemukan satupun dalil dalam hadis atau dalam al-Qur’an yang
menyebutkan secara tegas apa itu hilal yang bisa diterjemahkan secara
kuantitatif dalam kriteria hisab. Pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah adalah
dengan pendekatan astronomi, bahwa hilal adalah penampakan bulan yang paling
kecil yang menghadap bumi beberapa saat setelah terjadi ijtimak. Inilah yang
kemudian menjadi kriteria hisab bahwa awal bulan baru ditandai dengan wujudnya
hilal. Tandanya adalah apabila matahari terbenam lebih dahulu dari bulan.
Muhammadiyah-pun mengalami perkembangan dalam menetapkan
sistem hisab yang digunakannya. Mula-mula Muhammadiyah menggunakan sistem
ijtimak qablal gurub. Sekitar tahun 60-an, Muhammadiyah beralih kepada sistem
wujudul hilal, meskipun kemungkinan pada mulanya tidak diterapkan sepenuhnya
untuk menetapkan seluruh bulan-bulan kamariah, melainkan untuk bulan Ramadhan,
Syawal dan Dzulhijah saja. Namun saat ini teori wujudul hilal itu digunakan
untuk keseluruhan bulan kamariah.
Ufuk yang dijadikan patokan untuk menentukan wujud atau
tidaknya hilal adalah ufuk hakiki. Hal ini sangat tegas dinyatakan oleh Ir. H.
Basith Wahid, bahwa sejak tahun 1969 yang dipilih adalah sistem wujudul hilal,
yang diperhitungkan adalah saat terjadinya ijtimak plus posisi bulan
terhadap ufuk hakiki pada saat matahari terbenam. Kecenderungan Muhammadiyah ke
arah penggunaan sistem hisab wujudul hilal sudah tampak sejak Majelis Tarjih
mengambil keputusan tentang masalah hisab dan rukyat pada tahun 1932. Istilah
yang digunakan dalam keputusan itu adalah ‘wujudul hilal’. Dalam aplikasinya,
Muhammadiyah menerapkan konsep wilayatul hukmi, yaitu ketika hilal sudah wujud
di sebagian wilayah Indonesia, maka bagian wilayah lainnya yang belum wujud
mengikuti wilayah yang sudah positif (wujud).
Konsep wilayatul hukmi ini memiliki kelemahan. Jika kita
kita simak hadis Kuraib, Ibn Abbas dalam prakteknya lebih menggunakan sistem
matlak lokal, bukan wilayatul hukmi. Persoalan lain, misalnya wujudul hilal
hanya melewati sebagian wilayah Indonesia, apakah daerah yang belum wujud
‘dipaksakan’ mengikuti wilayah yang sudah wujud? Konsep wilayatul hukmi ini
juga akan menemui masalah ketika diterapkan di negara lain yang mempunyai
teritorial luas, seperti Rusia.
Sikap Muhammadiyah Tentang Penyatuan Hari Raya
Tidak seperti kalender miladiyah yang berbasis peredaran
matahari, kalender hijriyah yang berbasis peredaran bulan relatif rumit bila
dikaitkan dalam menetapkan bulan baru. Dalam agama Islam, puasa dan hari raya
ditetapkan berdasarkan penanggalan bulan. Di akui bahwa penetapan awal bulan
bukan hal yang sederhana. Kapan harus memulai puasa Ramadhan dan Idul Fitri,
kapan jatuh hari wukuf, dan hari-hari peribadatan yang lainnya semua tergantung
dan terkait pada kapan tanggal satu setiap bulan ini dimulai dan di akhiri.
Dalam realitasnya, cukup banyak tata cara (metode), tradisi
dan teori yang berkembang di tengah masyarakat untuk menetapkan awal sebuah
bulan. Ada yang memakai ru’yatul hilal (melihat hilal), ada yang
menggunakan hisab urfi, hisab astronomis, dan lain sebagainya. Semua tata cara,
teori dan tradisi itu terus berkembang sesuai dengan paradigmanya
masing-masing. Banyaknya aliran, teori dan tradisi yang berkembang ini
seluruhnya disertai aneka dasar pemikiran yang beragam sehingga acap kali
menyebabkan perbedaan penentuan kapan jatuhnya tanggal 1 dalam setiap bulan.
Sesama ahli rukyat juga sering berbeda dalam menentukan prasyarat dapat atau
tidaknya hilal terlihat. Ada yang menyatakan kalau bulan belum mencapai 5
derajat maka bulan belum dapat dilihat, tetapi ada juga yang mengklaim dapat
melihat hilal walau ketinggiannya kurang dari 5 derajat, bahkan ada yang bisa
melihat bulan dalam ketinggian kurang dari 2 derajat bahkan kurang dari 0
derajat.
Pemerintah (Kementrian Agama) yang menetapkan ketinggian
bulan agar dapat dilihat minimal 2 derajat sebenarnya penetapan kompromis
antara mazhab imkanur rukyat 5 derajat dengan mazab wujudul hilal. Kompromi ini
dapat dikatakan sebagai kompromi yang ‘asal-asalan’ karena dalam praktiknya
bulan pada ketinggian 2 derajat itu tidak akan dapat terlihat. Selain itu, ada
juga pendapat yang mengusulkan bahkan mewajibkan untuk mengikuti penetapan
bulan kamariah berdasarkan rukyat dan penetapan pemerintah Arab Saudi.
Perbedaan berkali-kali penetapan tanggal satu bulan kamariah ini akhirnya
menimbulkan rasa frustasi umat yang terlalu mendewakan keseragaman dalam
berbagai hal. Keseragaman yang kemudian dipaksakan dengan alasan ukhuwah (persaudaraan,
persatuan). Seakan-akan, kalau penetapan tanggal 1 Syawal-nya tidak bersama, ukhuwah umat
telah terbelah. Padahal, keberagaman penetapan tanggal 1 bulan kamariah ini
seharusnya diterima sebagai sesuatu yang biasa saja, sebagaimana penerimaan
kita pada rakaat salat tarawih. Dalam salat tarawih ada yang melakasanakan 20
rakaat dan ada pula yang melaksanakan 11 rakaat, namun ukhuwah umat
tidak terbelah.
Bagi penulis, perbedaan metode tersebut sesungguhnya sama
dengan perbedaan ulama tentang persoalan fikih lainnya. Sebagaimana fikih
mempunyai usul fikih sebagai sarana penggalian hukum, maka penentuan awal bulan
juga mempunyai metode tersendiri yang bisa juga disebut sebagai usul fikih
falak. Dengan kata lain, bahwa perbedaan tersebut adalah wajar. Penyatuan awal
bulan baru bisa terlaksana manakala seluruh ormas mau merumuskan dan menyetujui
satu konsep tentang usul fikih falak yang bisa disepakati bersama.
Persoalannya, mungkinkah ini dapat terwujud?
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kemukakan beberapa kesimpulan:
Hisab yang digunakan Muhammadiyah terus berkembang dan
semakin dapat diterima. Ini karena hisab dalam aplikasinya menggunakan
temuan-temuan terbaru dalam ilmu pengetahuan. Penggunaannya dalam penentuan
awal bulan kamariah juga semakin menguat dan dominan.
Menurut Muhammadiyah, awal bulan pada hakikatnya tidak lain
ketika wujud pada saat terbenam matahari. Sedangkan hilal adalah penampakan
bulan yang paling kecil yang muncul pada saat matahari terbenam. Keadaan
demikian dicapai pada saat setelah terjadi konjungsi (ijtimak) antara matahari
dan bulan. Ini kemudian oleh Muhammadiyah disebut sebagai sistem ‘wujudul
hilal’.
Untuk mengetahui adanya hilal dapat dengan rukyat (melihat
langsung) atau dengan hisab.
Metode hisab yang digunakan oleh Muhammadiyah dapat
dikategorikan sebagai metode ilmu pengetahuan modern.
Hisab wujudul hilal bukan untuk menentukan hilal mungkin
dilihat atau tidak, akan tetapi untuk dijadikan dasar dalam menetapkan awal
bulan kamariah dan sekaligus dijadikan sebagai bukti bahwa bulan baru kamariah
sudah tiba atau belum.
Dalam praktiknya, Muhammadiyah juga menggunakan konsep
wujudul hilal plus wilayatul hukmi. Banyaknya perbedaan dalam
menentukan metode penentuan awal bulan (ushl fikih falak) berimplikasi pada
perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah. Perbedaan tersebut hendaknya
dianggap sebagai perbedaan furu’iyyah fiqhiyyah yang lumrah dan perlu
penyikapan secara toleran.
Apa yang kami paparkan disini hanya sekedar pengantar dalam
memahami penetapan awal bulan kamariah perspektif Muhammadiyah. Meski sangat
singkat, mudah-mudahan sudah dapat mengantarkan kita untuk mengenal tentang
konsep penetapan awal bulan perspektif Muhammadiyah. Wallau a’lam.
Daftar Pustaka
Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah.
Drs. H. Abdur Rachim, Penetapan Awal Bulan Kamariah
Perspektif Muhammadiyah, Makalah Workshop Nasioanl Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 20 Oktober
2002.
Drs. Oman Fathurohman SW, MA., Model Hisab
Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi, Makalah Workshop Nasioanl Majelis Tarjih
dan Pengembangan Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 20
Oktober 2002.
Dr. Susiknan Azhari, MA., Ilmu Falak Perjumpaan
Khazanah Islam dan Sains Modern[Yogyakarta: Suara Muhammadiyah].
http://Muhammadiyah.or.id