Perbedaan
penetapan awal bulan kamariah sesungguhnya disebabkan karena berbedanya dasar
yang digunakan. Diantaranya ada golongan yang berpegang teguh kepada rukyat
sebagai dasar penetapan. Ada pula golongan yang mendasarkan penetapannya pada
saat terjadi ijtimak matahari dan bulan. Ada lagi golongan yang mendasarkan
pada hisab wujudul hilal. Ada pula golongan yang menetapkan awal bulan kamariah
dengan dasar kaidah-kaidah tertentu yang dikenal dengan hisab urfi.
Dari
perbedaan metodologi tersebut, pada akhirnya berimplikasi pada perbedaan dalam
menentukan awal bulan kamariah. Berikut ini kami akan menyampaikan penentuan
awal bulan kamariah berdasarkan kebijakan pemerintah (ulil amri) dan perspektif
Muhammadiyah.
Penentuan awal
Ramadhan Melalui Kebijakan Pemerintah
Ulama
fikih Mazhab Hanafi, Ibnu Abidin, menyatakan, munculnya hilal pada setiap
daerah dengan waktu yang berbeda-beda tidak dapat diingkari. Apalagi, jika
daerah itu saling berjauhan. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu
Umar, Rasulullah SAW menyatakan, “Jika kamu melihat (hilal) bulan (Ramadhan)
maka berpuasalah kamu dan jika kamu melihat (hilal) bulan (Syawal) maka
berbukalah kamu."”
Hadis itu tidak secara tegas menunjukkan apakah jika penduduk suatu negeri telah melihat hilal maka kewajiban memulai ibadah puasa hanya berlaku untuk mereka atau juga berlaku untuk seluruh daerah Islam.
Di sinilah terjadinya perbedaan pendapat para ulama. Namun, apabila suatu negara (sekalipun wilayahnya luas) itu dipimpin oleh seorang kepala negara Muslim dan kepala negara itu mengumumkan dimulainya awal Ramadhan berdasarkan penglihatan di suatu daerah, pengumumannya itu wajib diikuti oleh kaum Muslim di seluruh negara itu. Ketentuan ini disepakati oleh seluruh ulama fikih karena dalam kaidah fikih disebutkan, “Keputusan hakim (pemerintah) menghilangkan segala perbedaan pendapat.”
Hadis itu tidak secara tegas menunjukkan apakah jika penduduk suatu negeri telah melihat hilal maka kewajiban memulai ibadah puasa hanya berlaku untuk mereka atau juga berlaku untuk seluruh daerah Islam.
Di sinilah terjadinya perbedaan pendapat para ulama. Namun, apabila suatu negara (sekalipun wilayahnya luas) itu dipimpin oleh seorang kepala negara Muslim dan kepala negara itu mengumumkan dimulainya awal Ramadhan berdasarkan penglihatan di suatu daerah, pengumumannya itu wajib diikuti oleh kaum Muslim di seluruh negara itu. Ketentuan ini disepakati oleh seluruh ulama fikih karena dalam kaidah fikih disebutkan, “Keputusan hakim (pemerintah) menghilangkan segala perbedaan pendapat.”
Menurut
para ulama Mazhab Hanafi, apabila suatu negeri telah melihat hilal dalam
menentukan awal Ramadhan atau awal Syawal, daerah lain wajib mengikuti daerah
yang telah melihat itu. Ayat ini juga tidak ditujukan kepada penduduk
tertentu, tetapi berlaku umum untuk seluruh umat Islam di manapun mereka
berada. Dengan demikian, perbedaan matlak bagi Mazhab Hanafi tidak ada
pengaruhnya dalam menentukan awal Ramadhan, awal Syawal, dan hari wukuf di
Arafah.
Adapun
ulama dari Mazhab Syafi’i mengatakan, tidak wajib satu daerah memulai puasa
bersamaan dengan daerah lain yang telah melihat hilal bulan Ramadhan karena
daerah masing-masing mempunyai matlak sendiri.
Ulama Syafi’i memahami hadis Nabi SAW di atas ditujukan kepada penduduk setiap negara, bukan untuk umat Islam seluruhnya. Di samping itu, ada juga sebagian ulama fikih yang membedakan jarak antardaerah. Jika daerah yang telah melihat hilal itu berada jauh dari daerah lain, hilal itu hanya berlaku bagi penduduk yang telah melihatnya.
Ulama Syafi’i memahami hadis Nabi SAW di atas ditujukan kepada penduduk setiap negara, bukan untuk umat Islam seluruhnya. Di samping itu, ada juga sebagian ulama fikih yang membedakan jarak antardaerah. Jika daerah yang telah melihat hilal itu berada jauh dari daerah lain, hilal itu hanya berlaku bagi penduduk yang telah melihatnya.
Namun,
untuk menentukan kriteria jarak jauh dan dekat ini pun, terdapat perbedaan
pendapat. Pendapat pertama mengatakan jauh itu seperti perbandingan jarak
antara satu kota di suatu negara dan kota lain di negara lain. Sedangkan yang
dekat, seperti jarak antara dua kota dalam satu negara.
Pendapat
kedua mengatakan kriterianya, yaitu iklim di negeri itu. Jika iklimnya berbeda,
berarti jaraknya jauh, namun jika iklimnya sama, berarti jaraknya dekat. Pendapat
ketiga mengatakan bahwa ukuran jauh itu diukur dengan masalah qasar (jarak yang
dibolehkan meringkas shalat). Jika dibolehkan mengqasar shalat, berarti
jaraknya jauh, namun jika tidak dibolehkan, berarti jaraknya dekat.
Dalam
permasalahan penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan dengan cara istikmal. istikmal
adalah penentuan awal Ramadhan dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban
menjadi 30 hari apabila tanda hilal bulan Ramadhan tidak tampak dan
menyempurnakan bilangan bulan Ramadan menjadi 30 hari jika hilal awal bulan
Syawal tidak dapat dilihat.
Cara
ini ditempuh bila cuaca buruk sehingga kemunculan hilal tidak dapat dipastikan
atau karena para ulama tidak menerima penentuan awal bulan dengan teori ilmu
hisab atau ilmu falak. dasar pemikirannya, yaitu hadis Rasulullah SAW
yang mengatakan, “Jika kamu telah melihatnya (hilal Ramadan) maka puasalah kamu
dan jika kamu telah melibatnya (hilal Syawal) maka berbukalah kamu. Dan jika bulan
(hilal) tertutup awan sehingga tidak terlihat, maka perhitungkanlah olehmu.”
(HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).
Hadis
ini sejalan dengan firman Allah SWT, “... Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya (QS al-Baqarah [2]:185). Kata “perhitungkanlah olehmu” dalam hadis
itu dan “mencukupkan bilangan” dalam ayat di atas ditafsirkan oleh para ahli
hadis sebagai “menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban atau Ramadhan menjadi 30
hari”. Karena ada hadis lain yang secara jelas menyatakan hal tersebut, yaitu
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah.
Penentuan Awal
Bulan Kamariah Perspektif Muhammadiyah
Dalam
Himpunan Putusan Tarjih disebutkan ragam cara penetapan awal bulan kamariah:
1.
Rukyatul hilal.
2.
Persaksian rukyatul hilal dari seorang yang adil.
3.
Menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.
4.
Dengan perhitungan hisab.
Rukyatul
hilal digunakan apabila posisi hilal memiliki kemungkinan untuk di observasi.
Hingga kini, kemungkinan (visibilitas) hilal dapat di observasi belum
didefinisikan secara pasti. Danjon misalnya, setelah melakukan penelitian
berulang-ulang tentang hilal, menyatakan bahwa bulan sabit yang posisinya
mendekati matahari tidak dapat terlihat apabila jarak sudutnya kurang dari 8
derajat. Ketentuan ini rupanya oleh Diezer diperkuat dengan hasil penelitiannya
di Candilly Obeservatory, bahwa sebagai syarat agar
hilal dapat teramati pada saat matahari terbenam harus mempunyai jarak
sudut 8 derajat, dan bulan pada saat itu minimal berada pada ketinggian 5
derajat.
Tatkala
matahari terbenam, hilal berada pada jarak sudut 8 derajat dengan matahari dan
memiliki ketinggian 5 derajat, lantas ada berita bahwa seseorang telah melihat
hilal, atau ada orang yang adil yang menyaksikan kebenarannya, maka kaum
muslimin akan menerima hasil rukyat itu termasuk Muhammadiyah. Itulah sebabnya
dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan:
[الصَّوْمُ
وَالفِطْرُ بِالرُّؤْيَةِ]
“berpuasa dan beridul
fitri dengan rukyat”
Keputusan
itu hendaknya ditafsirkan pada saat kondisi hilal berada pada batas imkanur
rukyat, sehingga hilal dapat dilihat. Dalam kondisi serupa ini, Muhammadiyah
akan memulai puasanya dengan rukyat. Kemudian apabila hilal tidak mungkin
dilihat karena posisinya di bawah ufuk, Muhammadiyah menerima istikmalsebagai jalan keluar dalam menghadapi kesulitan dalam
penetapan hukum. Akan tetapi, bila hilal tidak mungkin dilihat karena tertutup
awan, atau posisinya tidak berada pada imkanur rukyat, maka jalan yang ditempuh
adalah menggunakan hisab. Itulah sebabnya dalam HPT disebutkan:
[وَ
لاَ مَانِعَ بِالحِسَابِ]
“dan tidak ada
halangan dengan (menggunakan) hisab”
Jika
ada pertanyaan, mengapa Muhammadiyah menggunakan hisab astronomi? Jawabannya
adalah karena Muhammadiyah menganggap melihat hilal bukan suatu ibadah (ta’abbudî), namun hanya sarana (wasîlah)yang dapat digunakan dengan
mudah untuk mengetahui awal bulan kamariah. Muhammadiyah mendefinisikan hisab
sebagai perhitungan astronomis tentang posisi hilal. Namun, hisab tidak mungkin
membuat keputusan tanpa adanya kriteria yang disebut hilal. Tidak ditemukan
satupun dalil dalam hadis atau dalam al-Qur’an yang menyebutkan secara tegas
apa itu hilal yang bisa diterjemahkan secara kuantitatif dalam kriteria hisab.
Pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah adalah dengan pendekatan astronomi,
bahwa hilal adalah penampakan bulan yang paling kecil yang menghadap bumi
beberapa saat setelah terjadi ijtimak. Inilah yang kemudian menjadi kriteria
hisab bahwa awal bulan baru ditandai dengan wujudnya hilal. Tandanya adalah
apabila matahari terbenam lebih dahulu dari bulan.
Muhammadiyah-pun
mengalami perkembangan dalam menetapkan sistem hisab yang digunakannya.
Mula-mula Muhammadiyah menggunakan sistem ijtimak qablal gurub. Sekitar tahun
60-an, Muhammadiyah beralih kepada sistem wujudul hilal, meskipun kemungkinan
pada mulanya tidak diterapkan sepenuhnya untuk menetapkan seluruh bulan-bulan
kamariah, melainkan untuk bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah saja. Namun saat
ini teori wujudul hilal itu digunakan untuk keseluruhan bulan kamariah.
Ufuk
yang dijadikan patokan untuk menentukan wujud atau tidaknya hilal adalah ufuk
hakiki. Hal ini sangat tegas dinyatakan oleh Ir. H. Basith Wahid, bahwa sejak
tahun 1969 yang dipilih adalah sistem wujudul hilal, yang diperhitungkan adalah
saat terjadinya ijtimak plus posisi bulan terhadap
ufuk hakiki pada saat matahari terbenam. Kecenderungan Muhammadiyah ke arah
penggunaan sistem hisab wujudul hilal sudah tampak sejak Majelis Tarjih
mengambil keputusan tentang masalah hisab dan rukyat pada tahun 1932. Istilah
yang digunakan dalam keputusan itu adalah ‘wujudul hilal’. Dalam aplikasinya,
Muhammadiyah menerapkan konsep wilayatul hukmi, yaitu ketika hilal sudah wujud
di sebagian wilayah Indonesia, maka bagian wilayah lainnya yang belum wujud
mengikuti wilayah yang sudah positif (wujud).
Konsep
wilayatul hukmi ini memiliki kelemahan. Jika kita kita simak hadis Kuraib, Ibn
Abbas dalam prakteknya lebih menggunakan sistem matlak lokal, bukan wilayatul
hukmi. Persoalan lain, misalnya wujudul hilal hanya melewati sebagian wilayah
Indonesia, apakah daerah yang belum wujud ‘dipaksakan’ mengikuti wilayah yang
sudah wujud? Konsep wilayatul hukmi ini juga akan menemui masalah ketika
diterapkan di negara lain yang mempunyai teritorial luas, seperti Rusia.
Sikap
Muhammadiyah Tentang Penyatuan Hari Raya
Tidak
seperti kalender miladiyah yang berbasis peredaran matahari, kalender hijriyah
yang berbasis peredaran bulan relatif rumit bila dikaitkan dalam menetapkan
bulan baru. Dalam agama Islam, puasa dan hari raya ditetapkan berdasarkan
penanggalan bulan. Di akui bahwa penetapan awal bulan bukan hal yang sederhana.
Kapan harus memulai puasa Ramadhan dan Idul Fitri, kapan jatuh hari wukuf, dan
hari-hari peribadatan yang lainnya semua tergantung dan terkait pada kapan
tanggal satu setiap bulan ini dimulai dan di akhiri.
Dalam
realitasnya, cukup banyak tata cara (metode), tradisi dan teori yang berkembang
di tengah masyarakat untuk menetapkan awal sebuah bulan. Ada yang memakai ru’yatul hilal (melihat hilal), ada
yang menggunakan hisab urfi, hisab astronomis, dan lain sebagainya. Semua tata
cara, teori dan tradisi itu terus berkembang sesuai dengan paradigmanya
masing-masing. Banyaknya aliran, teori dan tradisi yang berkembang ini seluruhnya
disertai aneka dasar pemikiran yang beragam sehingga acap kali menyebabkan
perbedaan penentuan kapan jatuhnya tanggal 1 dalam setiap bulan. Sesama ahli
rukyat juga sering berbeda dalam menentukan prasyarat dapat atau tidaknya hilal
terlihat. Ada yang menyatakan kalau bulan belum mencapai 5 derajat maka bulan
belum dapat dilihat, tetapi ada juga yang mengklaim dapat melihat hilal walau
ketinggiannya kurang dari 5 derajat, bahkan ada yang bisa melihat bulan dalam
ketinggian kurang dari 2 derajat bahkan kurang dari 0 derajat.
Pemerintah
(Kementrian Agama) yang menetapkan ketinggian bulan agar dapat dilihat minimal
2 derajat sebenarnya penetapan kompromis antara mazhab imkanur rukyat 5 derajat
dengan mazab wujudul hilal. Kompromi ini dapat dikatakan sebagai kompromi yang
‘asal-asalan’ karena dalam praktiknya bulan pada ketinggian 2 derajat itu tidak
akan dapat terlihat. Selain itu, ada juga pendapat yang mengusulkan bahkan
mewajibkan untuk mengikuti penetapan bulan kamariah berdasarkan rukyat dan
penetapan pemerintah Arab Saudi. Perbedaan berkali-kali penetapan tanggal satu
bulan kamariah ini akhirnya menimbulkan rasa frustasi umat yang terlalu
mendewakan keseragaman dalam berbagai hal. Keseragaman yang kemudian dipaksakan
dengan alasan ukhuwah (persaudaraan, persatuan).
Seakan-akan, kalau penetapan tanggal 1 Syawal-nya tidak bersama, ukhuwah umat telah terbelah. Padahal, keberagaman penetapan
tanggal 1 bulan kamariah ini seharusnya diterima sebagai sesuatu yang biasa
saja, sebagaimana penerimaan kita pada rakaat salat tarawih. Dalam salat
tarawih ada yang melakasanakan 20 rakaat dan ada pula yang melaksanakan 11
rakaat, namun ukhuwah umat tidak terbelah.
Bagi
penulis, perbedaan metode tersebut sesungguhnya sama dengan perbedaan ulama
tentang persoalan fikih lainnya. Sebagaimana fikih mempunyai usul fikih sebagai
sarana penggalian hukum, maka penentuan awal bulan juga mempunyai metode
tersendiri yang bisa juga disebut sebagai usul fikih falak. Dengan kata lain,
bahwa perbedaan tersebut adalah wajar. Penyatuan awal bulan baru bisa
terlaksana manakala seluruh ormas mau merumuskan dan menyetujui satu konsep
tentang usul fikih falak yang bisa disepakati bersama. Persoalannya, mungkinkah
ini dapat terwujud? (Dikutip dari berbagai sumber)
Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat kemukakan beberapa kesimpulan:
1.
Hisab yang digunakan Muhammadiyah terus berkembang dan
semakin dapat diterima. Ini karena hisab dalam aplikasinya menggunakan
temuan-temuan terbaru dalam ilmu pengetahuan. Penggunaannya dalam penentuan
awal bulan kamariah juga semakin menguat dan dominan.
2.
Menurut Muhammadiyah, awal bulan pada hakikatnya tidak lain
ketika wujud pada saat terbenam matahari. Sedangkan hilal adalah penampakan
bulan yang paling kecil yang muncul pada saat matahari terbenam. Keadaan
demikian dicapai pada saat setelah terjadi konjungsi (ijtimak) antara matahari
dan bulan. Ini kemudian oleh Muhammadiyah disebut sebagai sistem ‘wujudul
hilal’.
3.
Untuk mengetahui adanya hilal dapat dengan rukyat (melihat
langsung) atau dengan hisab.
4.
Metode hisab yang digunakan oleh Muhammadiyah dapat dikategorikan
sebagai metode ilmu pengetahuan modern.
5.
Hisab wujudul hilal bukan untuk menentukan hilal mungkin
dilihat atau tidak, akan tetapi untuk dijadikan dasar dalam menetapkan awal
bulan kamariah dan sekaligus dijadikan sebagai bukti bahwa bulan baru kamariah
sudah tiba atau belum.
6.
Dalam praktiknya, Muhammadiyah juga menggunakan konsep
wujudul hilal plus wilayatul hukmi.
7.
Banyaknya perbedaan dalam menentukan metode penentuan awal
bulan (ushl fikih falak) berimplikasi pada perbedaan dalam menentukan awal
bulan kamariah. Perbedaan tersebut hendaknya dianggap sebagai perbedaan furu’iyyah fiqhiyyah yang lumrah dan perlu
penyikapan secara toleran.
8.
Apa yang kami paparkan disini hanya sekedar pengantar dalam
memahami penetapan awal bulan kamariah perspektif Muhammadiyah. Meski sangat
singkat, mudah-mudahan sudah dapat mengantarkan kita untuk mengenal tentang
konsep penetapan awal bulan perspektif Muhammadiyah.Wallau a’lam.
Daftar Pustaka
1.
Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah.
2.
Drs. H. Abdur Rachim, Penetapan
Awal Bulan Kamariah Perspektif Muhammadiyah, Makalah Workshop Nasioanl Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 20 Oktober 2002.
3.
Drs. Oman Fathurohman SW, MA., Model Hisab Muhammadiyah: Metodologi dan
Aplikasi,
Makalah Workshop Nasioanl Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 20 Oktober 2002.
4.
Dr. Susiknan Azhari, MA., Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains
Modern [Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah].
6.
http://Muhammadiyah.or.id