Selasa, 01 April 2008

Peta Politik Mohammad Natsir


Salah satu ide-ide pemikiran M. Natsir yang sampai saat ini masih mendapatkan tempat dalam diskursus akademik adalah pemikirannya tentang politik Islam dan Negara. Dengan serangkaian kegiatan politiknya, Natsir menawarkan konsep Negara Islam yang penerapan Syari’at Islam melalui pemerintahan parlementer. Karena bagi Natsir, negara yang menyatukan agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan dalam memahami gambaran pemerintahan Islam.

Ideologi Politik
Menurut Natsir seorang muslim itu mempunyai falsafah hidup, dapat disimpulkan dalam satu kalimat dalam Al-Quran yang maksudnya : “Tidaklah aku jadikan jin dan manusia itu, melainkan untuk mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. Addzariyat : 56). Jadi, seorang Islam hidup di dunia ini adalah dengan cita-cita hendak menjadi seorang hamba Allah SWT dengan arti yang sepenuhnya, mencapai kejayaan dunia dan kemenangan di akhirat. Dunia dan akhirat ini, sekali-kali tidak mungkin dipisahkan oleh seorang muslim dari ideologinya.

Untuk mencapai hal tersebut Tuhan memberikan manusia bermacam-macam aturan. Aturan atau cara manusia berhubungan dengan Tuhan yang menjadikannya dan aturan atau cara berhubungan dengan sesama manusia. Diantara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, terdapat garis-garis besar berupa kaedah yang berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Yang tidak lain dan tidak bukan, ialah yang dinamakan orang dengan “urusan kenegaraan”.

Menurut Natsir, ketika membicarakan pemisahan agama dan negara, sering kali dikaitkan dengan negara Turki, yang berpikiran : “Dahulu di Turki ada persatuan agama dengan negara. dibuktikan dengan adanya khalifah, yang juga menjadi Amirul Mukminin. Akan tetapi waktu itu Turki merupakan negara yang terbelakang, tidak modern, negeri “sakit”, negri “bobrok”. Sekarang di Turki agama sudah dipisahklan dari negara, maka dapat dilihat Turki menjadi negara maju dan modern. Ini membuktikan bahwa politik Kemal Pasha benar”.

Jika diterangkan sebenarnya suatu negri yang pemerintahannya tidak memperdulikan kepentingan rakyat, membiarkan rakyat bodoh, yang tidak memajukan negerinya sehingga tertinggal dengan negara lain dan yang pemimpinnya menindas rakyat dengan memakai “Islam” sebagai kedok atau memakai ibadah-ibadah, sedangkan pemimpin-pemimpin pemerintahan itu penuh dengan segala macam maksiat dan membiarkan Takhayul merajalela sebagaimana keadaan pemerintahan Turki di zaman Sultan-sultan yang akhir-akhir, maka yang semacam itu bukanlah pemerintahan Islam. Islam tidak menyuruh dan tidak membiarkan orang menyerahkan sesuatu urusan kepada orang yang bukan ahlinya.

Maka sekarang jika ada pemerintahan yang zalim yang bobrok seperti yang ada di Turki pada zaman Bani Usman, atau mesir yang baru-baru ini runtuh pada rezim Husni Mubarok dalam kontek lain, itu bukanlah hendak dijadikan contoh. Pemerintahan yang semacam itu tidaklah akan dapat diperbaiki “dengan memisahkan agama” seperti dikatakan Ir. Soekarno, sebab memang “agama”, sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu. yang semestinya dipisahkan dari negara tersebut bukanlah agamanya melainkan hanyalah kejahatan, maksiat, kemusyrikan dan kesombongan yang telah merajalela.

Walaupun Natsir selalu ’menghendaki’ agama sebagai ideologi negara, akan tetapi ia berusaha menampilkan semangat ke-Islaman-nya dengan wajah terbuka dan lebih luwes. Ia adalah seorang politisi profesional diantara banyak pemikir.

Sistem Politik
Pengertian demokrasi dalam Islam memberikan hak kepada rakyat supaya mengkritik, menegur, membetulkan pemerintahan yang dzalim atau khilaf. Apabila tidak cukup dengan kritik dan teguran, Islam memberikan hak kepada rakyat untuk menghilangkan kedzaliman itu dengan kekuatan atau kekerasan jika itu perlu.

Natsir pernah membantah pernyataan Soekarno tentang alasan untuk memisahkan negara dengan agama. Dalam parlemen negara Islam tidaklah akan dipermusyawaratan terlebih dahulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan, dan tidaklah mesti ditunggu keputusan parlemen terlebih dahulu, atau membahas masalah yang sudah jelas didalam Al-Quran dan Sunnah

Pemiikiran Natsir tentang demokrasi mendasarkan diri pada penafsiran Natsir tentang Ijtihad, Syura, dan Ijma. Melalui Ijtihad, Islam dihadapkan dengan dinamika perubahan masyarakat. Sementara Ijma memandu umat Islam untuk mensejajarkan langkahnya seuai kesepakatan mayoritas kaum muslimin di suatu tempat dan pada suatu zaman tentang masalah-masalah bersama senafas dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi. Tatkala konsep Ijtihad dan Ijma itu dihubungkan oleh Natsir dengan konsep syura, sampailah Natsir pada sebuah model perwujudan demokrasi. Sebuah model parlementer yang memberi ruang besar bagi parlemen untuk mengemban amanah rakyat. Lebih lanjut, Natsir menggambarkan demokrasi sebagai sebuah pemerintahan yang mencerminkan terakomodasinya suara mayoritas dalam perumusan kebijakan dan keputusan politik. Natsir membatasi politik parlemen itu dengan batas-batas (hudud) yang telah ditetapkan Tuhan.

Natsir menamakan demokrasi ala Islam ini sebagai Theistic Democracy (demokrasi berdasar pada nilai-nilai Ketuhanan). Gagasan Natsir tentang demokrasi adalah khas gagasan Islam modernis. Tetapi jika orang lain ingin mengatakan bahwa yang semacam ini bukan demokratis tergantung pandangan masing-masing pribadi. Tetapi perlu diketahu Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, yang memunyai sifat-sifat sendiri.

Ini berarti bahwa Islam itu tidak seperti demokrasi yang diajarkan barat tetapi memiliki prinsip-prinsip dasar demokrasi dan Islam pun menentang absolutisme dalam otokrasi. Pemerintahan Islam itu sesuai dengan apa yang ada dan telah tercantum dalam Al-Quran dan Hadist.

Sistem Pemerintahan
Dalam islam tidak kenal “ kepala agama” seperti paus atau Patriarch seperti dalam agama kristiani dan sebagainya. Islam hanya mengenal satu “kepala agama”, ialah Muhamad rasulullah SAW. Beliau sudah wafat dan tak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya.”kepala agama” yang bernama Mohammad ini meninggalkan satu sistem yang bernama islam, yang harus dijalankan oleh kaum Muslimin, dan harus di pelihara dan di jaga supaya dijalankan oleh “kepala-kepala kenegaraan (bergelar Raja, Khalifah, Presiden dan lainnya) yang memegang kekuasaan dalam kenegaraan kaum muslimin, sahabat-sahabat nabi yang pernah memegang kekuasaan Negara sesudah Rasulullah SAW. Seperti Abubakar, Umar, Usman, Ali tidaklah menjadi merangkap “kepala Agama”.

Dalam sistem pemerintahan ini jelas terlihat ada sebuah check and balance system, karena kepala kenegaraan dapat berkuasa menetukan setiap kebijakan dalam negerinya namun ada majelis syura yang di dalamnya terdapat orang-orang yang ahli dalam bidangnya masing-masing untuk membahas masalah yang terjadi dan belum di atur dalam Qur’an maupun Hadist. Sementara itu hubungan pemerintah dengan rakyat pun akan terjalin harmonis karena secara tidak lansung sudah menjadi tanggung jawab kepala negara untuk mensejahterakan rakyat.

Memasuki masa demokrasi parlementer banyak hal yang di lakukan Natsir. Natsir menjadi perdana mentri yang pertama, banyak kebijakan yang di buat oleh nya seperti menyuksekan pemilu tahun 1955, mendewasakan rakyat dalam berpolitik.

“Pilihlah salah satu dari dua jalan, Islam atau Atheis.” adalah kutipan pidato M. Natsir di Parlemen Indonesia di masa kemerdekaan. M. Natsiradalah tokoh Islam kontemporer dunia Islam, mujahid dan politikus piawai. Mencurahkan segenap kemampuan untuk menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan Indonesia, dan melawan orang-orang yang menghalangi tegaknya Islam.

Ketidakfahaman terhadap negara dalam Islam, negara yang menyatukan agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan memahami gambaran pemerintahan Islam Natsir berkata bahwa bila ingin memahami agama dan negara dalam Islam secara jernih, semestinya harus menghapuskan gambaran keliru tentang negara Islam di atas. Secara implisit Natsir menilai bahwa gambaran “negara Islam” seperti inilah yang terdapat dalam pandangan Soekarno maupun Kemal.
Oleh karena itu menurut Natsir, sistem pemerintahan dalam Islam tidak ada uraian spesifik yang menjelaskan mengenai mekanismenya, yang ada hanya prinsip-prinsipnya saja. Maka, sebagai produk ijtihad politiknya, ia mengusulkan pemerintahan parlementer.

Konsep Kenegaraan
Natsir dalam pemikirannya memiliki konsep kenegaraan yang berupa negara Islam. Dimana negara menjadi instrumen atau alat untuk menerapkan syariat islam. Karena pada hakikatnya manusia itu di ciptakan untuk karena telah jelas di dalam aturan-aturan yang di berikan Allah SWT, telah mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan.

Bagi Natsir sebuah negara itu harus di pimpin oleh orang yang berasal dari kaum muslimin karena dalam islam tidak mungkin dipimpin oleh orang yang bukan berasal dari kaumnya. Jelas bahwa Natsir bukanlah pendukung sekularisme dalam negara yaitu memisahkan anatara agama dengan negara. Banyak kritikannya terhadap konsep negara yang dibuat oleh turki muda. Natsir pernah berujar bahwa “Islam tidak terbatas pada aktivitas ritual muslim yang sempit, tapi pedoman hidup bagi individu, masyarakat dan negara. Islam menentang kesewenang-wenangan manusia terhadap saudaranya. karena itu, kaum muslimin harus berjihad untuk mendapatkan kemerdekaan. Islam menyetujui prinsip-prinsip negara yang benar. Karena itu, kaum muslimin harus mengelola negara yang merdeka berdasarkan nilai-nilai Islam. Tujuan ini tidak terwujud jika kaum muslimin tidak punya keberanian berjihad untuk mendpatkan kemerdekaan, sesuai dengan nilai-nilai yang diserukan Islam. Mereka juga harus serius membentuk kader dari kalangan pemuda muslim yang terpelajar.”

Sebagai contoh, Islam mewajibkan agar orang Islam membayar zakat sebagaimana mestinya; bagaimana undang-undang kemasyarakatan ini mungkin berlaku dengan beres, kalau tidak ada pemerintah yang mengawasi berlakunya? Islam melarang zina, judi, minum arak yang merupakan penyakit masyarakat yang menggerokoti sendi-sendi pergaulan hidup; bagaimana larangan itu dapat dilaksanakan kalau negara bersikap “masa bodoh” saja dengan alasan “negara netral agama”?

Rinkasnya, kata Natsir, “Bagi kaum Muslimin, “Negara” bukanlah suatu badan yang tersendiri yang menjadi tujuan. Dan dengan “Persatuan Agama dan Negara” dimaksudkan, bukanlah bahwa “Agama” itu cukup sekedar dimasuk-masukkan saja disana sini kepada “Negara” itu. Namun negara, bukan tujuan, tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan, yang menjadi tujuan ialah : Kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari masyarakat. Baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia, ataupun yang berhubungan kehidupan akhiran kelak.

Bentuk Negara
Indonesia yang sejak dahulunya dihuni oleh sejumlah penduduk yang sangat plural dari sisi tradisi, budaya, dan agama tidak menjadikan sistem negara berada dalam posisi ambivalen dalam menjalani pemerintahan dan mengeluarkan produk hukum yang adil dan sejahtera. Karena dalam satu negara yang berdasar islam, orang-orang yang bukan islam mendapatkan kemerdekaan beragama dengan luas. Bahkan mungkin lebih luas lagi dari yang di berikan negara-negara Eropa Terhadap agama-agama yang ada disana.dan tidak akan memberikan kerugian apapun bagi penduduk yang bukan beragama islam apabila dalam negeri itu berlaku hukum-hukum islam dalam urusan muamalah. Karena peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan hal-hal semacam itu. Dengan berlakunya undang-undang islam, agam mereka tidak akan terganggu, tidak akan rusak dan tidak akan berkurang sedikit pun.

Tetapi sebaliknya, orang yang tidak mau mendasarkan Negara kepada hukum-hukum islam dengan alasan tidak mau menyakiti hati orang yang bukan beragama islam, sebenarnya (secara sadar maupun tidak) berlaku dzalim kepada orang islam sendiri yang jumlahnya lebih dari 80 persen jumlah penduduk yang ada di indonesia. Tindakan seperti itu mengugurkan sebagian besar dari peraturan-peraturan Agama Islam. Ini berarti merusakan hak-hak mayoritas, bukan lantaran hak-hak itu berlawanan dengan hak-hak kepentingan minoritas, tapi semata takut, apabila salah satu pihak merasa dirugikan.

Ketika Belanda hendak menjadikan Indonesia sebagai negara serikat, M. Natsirmenentangnya dan mengajukan pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia. Usulan ini disetujui 90% anggota Masyumi. Tahun 1950, ia diminta membentuk kabinet sekaligus menjadi perdana Menterinya. Tapi belum genap setahun ia dipecat karena bersebrangan dengan presiden Soekarno. Tapi Natsir tetap memimpin Masyumi dan menjadi angota parlemen hingga tahun 1957.

Natsir mengatakan ”Dalam urusan persatuan dan pemisahan agama dari negara ini, orang Islam tidak hendak berdalil kepada Turki, tidak kepada Mesir, dan tidak negara manapun juga. Sebagai orang Islam tidak memakai sejarah sebagai ukuran dan tidak hendak berhakim kepada riwayat. Urusan ini bukan urusan ”ramalan” yang harus dipersaksikan betul atau melesetnya oleh riwayat di masa depan.